ini adalah bentuk pemikiran, uneg-uneg, rasa cinta dan perasaan dalam tulisan dari seorang pecinta film, buku dan music.. terlebih lagi Kimi Raikkonen.. (suami dan anak2 mah udah pasti laa yaw.. !) ^_^

Wednesday, May 14, 2008

Hebring Namru.. Indonesia jadi korbannya

Hai para pemimpin umat... diakhirat nanti kalian akan dimintakan pertanggung-jawaban atas apa yang telah kalian lakukan untuk umatmu...

_____________________

Proyek Perang Kuman Itu di Indonesia

08 Mei 2008

Laboratorium Angkatan Laut AS sudah tiga tahun beroperasi tanpa kontrak. Penelitinya kebal diplomatik dan bebas berkeliaran tanpa pemeriksaan. Indonesia negara bagian Amerika?
Oleh: Amran Nasution *

Hidayatullah.com--Lihat saja, tak lama lagi berbagai serangan dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) tertentu akan ditujukan kepada Departemen Kesehatan. Lalu departemen itu akan jadi inceran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berbagai isu akan menerpa Siti Fadilah Supari, 59 tahun, Menteri Kesehatan yang memimpin departemen itu.

Yang penting, menteri ini harus diberi pelajaran. Oleh karenanya berbagai elemen antek Amerika di Indonesia -- yang bertebaran di pemerintahan, LSM, intelektual, pers, dan politisi – harus bekerja menyingkirkannya.

Skenario seperti ini secara eksplisit tergambar sebagai sesuatu yang lazim di dalam The Confessions of an Economic Hitman yang ditulis John Perkins, bekas intel ekonomi Amerika Serikat yang bertugas di Jakarta di tahun 1970-an. Perkins datang ke sini menyamar sebagai konsultan perusahaan Amerika, untuk membangun jaringan listrik. Tugas mereka sebenarnya adalah menguasai Indonesia dan Asia Tenggara, melalui jebakan utang luar negeri.

Lebih dari itu, seperti ditulis Perkins di bukunya, Amerika bisa memerintahkan pembunuhan atau penggulingan kekuasaan orang-orang yang mengganggu kepentingannya. Itu terjadi di berbagai negara Amerika Latin.

Siti Fadilah Supari adalah orang Indonesia pertama dalam beberapa dekade ini yang berani menentang kepentingan Amerika Serikat. Ia menjadi Soekarno di tahun 1960-an. Presiden pertama Indonesia itu dengan gagah berani berteriak, ‘’Go to hell’’, kepada Amerika. ‘’Pergilah ke neraka, Amerika.’’

Sesungguhnya ia patut ditabalkan sebagai patriot: Wanita Indonesia paling berani 2008. Ia berani mendobrak sistem dunia yang zalim, tak adil, yang menjadikan Amerika Serikat sebagai penguasa yang bisa bertindak seenak perut. Siti Fadilah Supari tak mau menjadi antek negeri adidaya itu, dan orang seperti dia dibutuhkan negeri yang sedang terpuruk dan rakyatnya terancam kelaparan. Itu semua karena banyak pemimpinnya yang lebih merasa nyaman menjadi antek daripada menegakkan martabat bangsa.

‘’Saya berjuang sendiri. Tapi ini sebuah ketidak-adilan yang bisa menuju pada kehancuran,’’ kata Siti. Betul, ia memang sendiri. Lebih 500 anggota DPR diam saja. Begitu pula anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang lebih sibuk kasak-kusuk untuk memperbesar kekuasaan. Tak ada dukungan pers, tak ada dukungan politisi, cendekiawan, atau siapa pun. Lihat betapa sulitnya tak mau menjadi antek di sebuah komunitas antek.

Februari lalu, ia melansir buku dalam edisi Indonesia berjudul, Saatnya Dunia Berubah, dan dalam edisi Inggris, It’s Time for the World to Change. Kedua edisi buku – dicetak cuma 2000 eksemplar – sudah terjual habis dan sedang dicetak ulang. Padahal buku itu sepi dari publikasi pers. Di buku ini, ia betul-betul menelanjangi praktek WHO, badan kesehatan dunia itu. Bagaimana WHO mewajibkan Indonesia mengirimkan virus flu burung ke laboratoriumnya di Hongkong. Tahu-tahu sampel itu sudah ada di tangan Amerika.

Bagaimana virus flu burung dari Vietnam diberikan WHO kepada perusahaan-perusahaan besar farmasi dunia untuk dijadikan vaksin, lalu dijual dengan harga seenaknya ke negara yang terserang flu burung – kebanyakan negara berkembang – tanpa konpensasi apa pun.

Lebih dari itu, gebrakan perempuan ini telah mengungkap praktek kotor WHO. Ternyata lembaga itu hanya alat Amerika dalam memperkuat arsenal perang biologisnya. Itu setelah terbukti data virus flu burung yang diambil dari Indonesia, disimpan di Los Alamos National Laboratory. Anda tahu itu tempat apa? Inilah salah satu laboratorium penelitian untuk mengembangkan nuklir dan rudal canggih Amerika. Nama Los Alamos – resminya berada di bawah University of California – menjadi terkenal ketika Desember 1999, seorang penelitinya ditangkap polisi federal FBI, dituduh menjual rudal nuklir W88 yang paling canggih waktu itu, kepada intelijen China.
Wen Ho Lee, peneliti itu, adalah warga Amerika kelahiran Taiwan, mendapat gelar Ph D dalam rekayasa industri dari Texas A&M University. Ternyata tuduhan tak terbukti, Wen Ho Lee dibebaskan. Kasusnya berkembang menjadi isu rasial. Wen dituduh dan ditangkap hanya karena dia satu-satunya peneliti berkulit kuning di laboratorium itu.

Tamengnya Perusahaan Farmasi

Jadi kalau sampel flu burung ada di Los Alamos, apa lagi gunanya kalau bukan untuk pengembangan senjata biologis (kuman). Wakil Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, John A. Heffern, membantah tuduhan. Katanya, Amerika tak mengembangkan senjata biologis karena terikat konvensi internasional tentang larangan senjata biologis.
Mister John ini mungkin menganggap semua orang Indonesia bodoh sehingga percaya saja pernyataannya. Betul, pada 1972, Presiden Richard Nixon menandatangani Biological and Toxin Weapons Convention (BTWC), yang mengharamkan penggunaan dan pengembangan senjata kuman dan racun. Nixon juga menutup pusat pengembangan senjata biologis di Fort Detrick, Maryland, dekat Washington, 3 tahun sebelumnya.

Konvensi diadakan karena pengembangan senjata itu di antara blok Barat pimpinan Amerika dan blok Timur pimpinan Uni Soviet di era perang dingin waktu itu sudah mengkhawatirkan. Tuduhan bahwa pasukan Amerika menggunakan senjata kimia dan biologis di Vietnam, kemudian di Laos dan Kamboja, sudah sulit dibantah. Amerika juga menggunakan senjata serupa di dalam Perang Korea, awal 1950-an.

Tentu saja orang tahu Amerika tak sungguh-sungguh melaksanakan isi konvensi. Para pengamat meyakini Amerika menyembunyikan program senjatanya dengan menggunakan tameng perusahaan-perusahaan farmasi di negerinya. Sebenarnya riset pengembangan senjata itu tak penah berhenti.

Apalagi BTWC sendiri dianggap macan ompong, tak memiliki ketentuan mengikat. Tak ada ketentuan yang mengizinkan pemeriksaan terhadap suatu laboratorium yang dicurigai. Pada Maret 2001, ada upaya dari Ketua Juru Runding BTWC, Tibor Toth, untuk mengusulkan sejumlah fasal yang lebih mengikat, misalnya, diperbolehkan pemeriksaan terhadap suatu proyek.

Tapi usulnya ditolak mentah-mentah oleh Presiden George Bush yang waktu itu sedang sibuk menakut-nakuti rakyatnya akan bahaya senjata kuman dari teroris. Karenanya, Amerika, kata Bush, harus mempersiapkan diri menangkalnya. Artinya, proyek perang kuman harus digalakkan.

Dengan penolakan itu, seperti ditulis di sebuah jurnal oleh Profesor Barbara Hatch Rosenberg, ahli senjata biologis dari State University of New York, ‘’Amerika Serikat dan komunitas internasional tak sungguh-sungguh mengupayakan pelarangan senjata biologis.’’

Proyek perang biologis Amerika berjalan secara tertutup, dan cukup aman atau steril dari pemberitaan pers. Soalnya, DPR Amerika Serikat meloloskan undang-undang yang melarang penyiaran informasi tentang riset kuman. Jelas undang-undang itu bertentangan dengan akta kebebasan informasi yang dibangga-banggakan para pendukung kebebasan Amerika di sini.

Belang Amerika Serikat terbuka ketika pecah perang Iran dengan Iraq di tahun 1980-an. Amerika membenci pemerintahan Islam Iran karena menjatuhkan bonekanya yang setia, Shah Iran. Selain Amerika khawatir Iran mengeskpor revolusi Islam ke sejumlah negara Timur Tengah yang mengakibatkan pengaruh super power itu terkikis di kawasan kaya minyak.

Maka Amerika membantu Irak yang dipimpin Saddam Hussein. Selain uang, informasi intelijen, senjata konvensional, Amerika (beserta Inggris dan Italy) mengirimkan senjata kimia dan biologis ke Irak.

Banyak tentara Iran menjadi korban. Foto mayat tentaranya dengan sekujur tubuh melepuh dibawa Iran ke PBB sebagai bahan bukti pengaduan. Tapi PBB tak berbuat apa-apa karena pengaruh Amerika Serikat.

Maka Saddam Hussein pun tambah berani. Sejumlah orang Kurdi dituduhnya berkhianat membantu Iran, diberi pelajaran dengan senjata Amerika itu. Kasus tersebut nanti yang menjadi alasan mengadili dan menghukum mati Saddam setelah Amerika menduduki Irak di tahun 2003. Sidang pengadilan tak pernah mengungkapkan bahwa senjata itu berasal dari Amerika. Maklumlah, sidang itu asal-asalan, terserah keinginan Presiden Bush, dan dilakukan di markas tentara Amerika di Baghdad.

Seusai perang , Saddam mengembangkan senjata biologis dari Amerika dan di kemudian hari itu yang dijadikan Presiden Bush dalih menyerang Irak (lihat Noam Chomsky dalam Failed States, Penguin Book, 2006).

Kalau dibaca buku House of Bush, House of Saud (Simon & Schuster, 2004) yang ditulis Craig Unger, wartawan terkenal dan penulis sejumlah buku, sebenarnya Saddam telah mendapat restu dari Presiden Ronald Reagan untuk menyerang orang Kurdi di Halabja, sebuah kota Iraq di perbatasan Iran, dengan senjata kimia dan biologis. Seperti dikutip buku itu dari koran The Los Angeles Times, Saddam menggunakan helikopter Amerika untuk menebarkannya, menyebabkan kematian 5000 orang Kurdi. Kasus inilah kelak mengantarkan Saddam ke tiang gantungan.

Di buku itu, diungkap jelas bagaimana Presiden Reagan dan pembantunya memberi fasilitas kepada Saddam untuk mengembangkan senjata itu. Departemen Perdagangan Amerika pernah berupaya menghalangi pengiriman berbagai fasilitas, tapi tak berdaya karena berhadapan dengan Gedung Putih. Senat dan Kongres tak bersuara. Sejumlah memo autentik yang relevan kini menjadi bukti tak terbantahkan.

Senjata biologis terhitung efektif sebagai alat pembunuh massal, biayanya murah, dan instalasinya gampang disembunyikan atau disamarkan dibanding instalasi nuklir atau senjata kimia. Laboratorium untuk membuatnya tak terlalu beda dengan laboratorium penelitian farmasi.

Ken Alibek, pakar utama senjata biologis Uni Soviet yang membelot ke Amerika di tahun 1990-an, menulis di dalam bukunya Biohazard, bahwa hulu ledak dengan 100 kg virus anthrax yang ditembakkan dengan rudal mampu membunuh 3 juta penduduk di suatu kota padat penghuni. Itu betul-betul senjata setan.

Selain anthrax yang dikenal sebagai penyakit sapi amat berbahaya, berbagai jenis mikroorganisme penyebab penyakit mematikan lainnya dipergunakan, seperti virus ebola, demam yang amat membunuh yang ditemukan di Afrika, virus smallpox (cacar), dan influenza. Tentu virus flu burung -- menyerang hewan dan manusia – yang sulit ditaklukkan dan sekarang berkecamuk di Indonesia, cukup layak dijadikan senjata pemusnah massal. Dari sini tampaknya peran Namru 2 menjadi penting.

Dua tahun lalu, US Army Medical Research Institute of Infectious Disease (USAMRIID) di Fort Detrick, Maryland, yang disebut-sebut sebagai pusat pengembangan senjata biologis Amerika Serikat, telah menemukan vaksin penyakit chikungunya. Penyakit demam yang membuat nyeri pada otot dan bisa melumpuhkan – di sini disebut penyakit lumpuh layu – tampaknya memenuhi kriteria. Dengan itu diduga Amerika Serikat telah mengembangkan virus chikungunya untuk senjata kuman. Entah kebetulan, virus itu kini menyerang pedesaan Indonesia.

Amerika pertama kali melengkapi militernya dengan sistem senjata biologis pada 1942, di masa Perang Dunia ll sedang berkecamuk. Itu guna mengantisipasi kehebatan roket Jerman yang menghujani Inggris. Muncul kekhawatiran kalau roket itu membawa kuman akan sangat membahayakan. Selain itu, Jepang musuh Amerika di kawasan Pasifik, sangat maju dalam riset senjata kuman. Laboratoriumnya sudah lama ada di China.
Maka didirikanlah institusi militer untuk perang kimia dan kuman (The Army Chemical Warfare Service) di Fort Detrick, Marylan, dengan supervisi George W. Merck, pemilik perusahaan farmasi Merck. Fort Detrick dilengkapi berbagai infrastruktur riset dan pengembangan. Uji coba dilakukan di Utah dan Mississippi. Sedang pabrik untuk memproduksinya didirikan di Terre Haute, Indiana.

Seusai Perang Dunia ll, proyek itu lebih digalakkan. Sejumlah ahli senjata biologis Jepang diberi amnesti, setelah bersedia bekerja untuk Amerika. Mereka ditempatkan di bagian khusus yang disebut Unit 731. Jangan heran kalau selama Perang Korea, tentara Amerika yang terdesak oleh pasukan Korea Utara dibantu China, menggunakan senjata itu. Walau kenyataannya mereka kalah juga.

Memang setelah Amerika menandatangani Biological and Toxin Weapons Convention (BTWC), terjadi pembekuan proyek ini. Tapi tak berarti senjata itu dimusnahkan. Terbukti Amerika masih menggunakannya di Laos dan Kamboja, atau diberikan kepada Saddam Hussein. Inilah bukti konkret kalau bantahan Wakil Dubes John A.Heffern tadi tak sesuai dengan fakta yang terjadi.

Koran utama Amerika, The New York Times, 7 September 1982 – sekitar 10 tahun setelah konvensi ditandatangani – menulis bahwa senjata itu masih ada di sebagian basis militer Amerika Serikat. Para ilmuwan tentara masih tetap terlibat pada apa yang mereka sebut riset senjata biologis untuk kepentingan pertahanan (medical defensive B.W. research).

Lalu pada Februai 1989, Kolonel David L. Huxsoll, Komandan USAMRIID, secara terus terang mengakui kepada pers bahwa tentara Amerika Serikat melakukan percobaan pengobatan terhadap pasien di China dan Argentina. Para pasien di China diduga korban serangan senjata biologis Amerika Serikat dalam Perang Korea. Pengobatan yang sama dilakukan di Liberia, Korea Selatan, dan Mesir.

Langkah itu dikecam keras oleh para ahli kesehatan Amerika Serikat. Tindakan itu dianggap hanya akan memulai kembali perlombaan senjata biologis dunia. Dalam pertemuan tahunan asosiasi untuk kemajuan ilmu (The American Association for the Advancement of Science), Januari 1989, para ahli berpendapat tak selayaknya pasukan Amerika terlibat dalam program kesehatan masyarakat sipil. Pengobatan di China dan Argentina, semestinya dilakukan lembaga kesehatan sipil bukan militer.

Di forum itu, Dr Keith Yamamoto dari University of California at San Francisco mengatakan dana riset akan lebih efisien bila digunakan lembaga sipil. Selain itu, kalau tetap dilakukan militer akan menimbulkan kecurigaan bahwa riset militer telah menyamar ke dalam kegiatan pemeliharaan kesehatan publik (The New York Times, 6 Februari 1989).

Apa yang dipersoalkan Keith Yamamoto itulah yang terjadi dalam proyek Namru 2, laboratorium Angkatan Laut Amerika yang sudah bercokol di Jakarta sejak tahun 1970. Rupanya Namru (Naval Medical Research Unit) cukup strategis bagi militer Amerika. Proyek itu sudah didirikan sejak tahun 1940. Ia ada di Mesir, Ghana, dan Peru, selain di Indonesia. Dengan jaringan itu, ia merupakan fasilitas riset medis militer terbesar di dunia.

Resminya, Namru meneliti berbagai penyakit untuk kepentingan tentara Amerika bila suatu waktu bertugas di daerah itu. Sebenarnya, ini pekerjaan yang bisa dilakukan institusi sipil, seperti pendapat Keith Yamamoto. Karenanya tak sulit ditebak, ia tentu bagian dari program perang biologis Amerika. Itulah sebabnya para peneliti Namru di Indonesia membutuhkan kekebalan diplomatik, sehingga bebas ke mana saja, dan bebas membawa apa saja – termasuk sampel kuman -- keluar-masuk Indonesia tanpa pemeriksaan apa pun.

Itu pula sebabnya markasnya di Jalan Percetakan Negara, Jakarta, tertutup. Itu dibuktikan sendiri oleh Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari ketika sang menteri mendadak singgah ke sana, 16 April lalu. Meski fasilitas gedung yang dipakai Namru 2 adalah milik Departemen Kesehatan, Siti Fadilah Supari sendiri sulit masuk ke dalamnya. Baru setelah menunggu di luar sekian lama, menteri diperkenankan masuk. Rupanya ada rahasia yang tak boleh diketahui menteri yang harus diamankan terlebih dulu.

Tapi yang terpenting: apa untungnya Namru 2 bagi rakyat Indonesia? Jelas tak ada. Buktinya, bermacam penyakit menular dan mematikan bukannya berkurang, malah tambah merejalela dengan Namru bercokol di sini. Karena itu lebih baik proyek perang kuman Amerika Serikat itu segera ditutup. Apalagi kontrak kerja samanya sudah berakhir 31 Desember 2005.

Bagamana wibawa kedaulatan negara ini kalau bule-bule itu masih bebas berkeliaran seenaknya di sini? Padahal Indonesia bukan negara bagian Amerika dan Presiden SBY bukan gubernur dari Pemerintahan George Bush.

Tapi itulah, terlalu banyak para pemimpin negeri ini yang menghambakan diri kepada Amerika. Buktinya, tanpa perjanjian dan kontrak apa pun sudah 3 tahun Namru 2 bisa terus beroperasi dengan bebas di Indonesia. Sekarang seorang Siti Fadilah Supari menggugatnya. Menarik diikuti bagaimana cerita ini berakhir.

Habis [www.hidayatullah.com]
Penulis adalah direktur Institute for Policy Studies.

No comments: