ini adalah bentuk pemikiran, uneg-uneg, rasa cinta dan perasaan dalam tulisan dari seorang pecinta film, buku dan music.. terlebih lagi Kimi Raikkonen.. (suami dan anak2 mah udah pasti laa yaw.. !) ^_^

Tuesday, May 13, 2008

Gerakan anti Puyer & Pro RUD

FYI

kita dan anak2 kita, selaku konsumen yang merasakan sendiri akibat yang ditimbulkan atas penggunaan obat yang tidak rasional (unRational Used of Drugs), seharusnya lebih aware atas praktek industri medis saat ini.. jangan sampai kita menjadi korban atas ketidak-tahuan kita sendiri.. dan yang lebih penting sayangilah hati kita.. karena semua obat yang kita minum akan diproses di hati...

NB: Isinya sama persis dengan yg ada di koran Suara Merdeka hari Selasa tgl 6/05/08

____________________________________________________

BERITA PERS

Dapat Segera Diterbitkan

Pengobatan Tidak Rasional Marak Di Indonesia

JAKARTA, 3 Mei 2008 – Penggunaan obat yang tidak rasional masih marak di Indonesia, dan masalah ini menjadi tanggung jawab banyak pihak, dari pembuat kebijakan, asosiasi profesi tenaga kesehatan, industri farmasi, dokter, apoteker, hingga media massa dan pasien. Kerja sama dan dukungan semua pihak mutlak diperlukan untuk memperbaiki kualitas pola pengobatan menjadi rasional sebagaimana dianjurkan Badan Kesehatan Dunia WHO.

Menurut WHO, pengobatan yang rasional adalah pemberian obat yang sesuai kebutuhan pasien, dalam dosis yang sesuai dan periode waktu tertentu, serta dengan biaya serendah mungkin baik bagi pasien maupun komunitasnya. Pola pengobatan yang tidak mengikuti kaidah-kaidah di atas adalah pola pengobatan tidak rasional.

Demikian topik utama seminar Puyer: Quo Vadis? yang diselenggarakan Yayasan Orang Tua Peduli (YOP) bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Jakarta dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) hari ini di Aula FK-UI Salemba. Seminar yang diharapkan menjadi titik balik dunia kedokteran Indonesia untuk menata kembali pola pemberian obat agar menjadi rasional ini dihadiri konsumen kesehatan, dokter umum, farmasis, mahasiswa tingkat akhir dan staf pengajar FK-UI.

Para pakar dari berbagai kalangan hadir sebagai panelis: Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudi, Sp.FK (Farmakologi FK-UI); dr. Purnamawati S. Pujiarto, Sp.A(K), MMPed (YOP); Dra. Ida Z. Hafiz, Apt. Msi (Farmasi FK-UI); Prof. dr. Effionora Anwar, M.S., Apt. (Farmasi FMIPA-UI); Huzna Zahir (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia); dr. Prijo Sidipratomo, Sp.Rad (K) (IDI wilayah DKI Jakarta); Prof. dr. Mardiono Marsetio, Sp.M (K) (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran); dan dr. Zunilda S. Bustami, MS, Sp.FK (Farmakologi UI). Dr. Dra. Delina Hasan Apt, M.Kes bertindak selaku moderator diskusi terbuka di akhir acara.

Topik yang dibahas meliputi praktik peresepan yang baik, konsep pengobatan rasional, puyer dari perspektif farmasi, serta praktik pengobatan di negara lain. Pemaparan para ahli ini dilengkapi testimoni pekerja dan konsumen kesehatan mengenai pengalaman pengobatan dalam praktik sehari-hari.

Contoh pola pengobatan tidak rasional adalah pemberian beberapa obat sekaligus pada saat bersamaan dalam kondisi yang tidak perlu (polifarmasi), pemberian antibiotika yang berlebihan, serta tingginya tingkat pemakaian obat yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Salah satu contoh polifarmasi adalah pemberian puyer atau racikan (compounding) yang berisi beberapa obat sekaligus untuk anak-anak dengan gangguan kesehatan ringan harian seperti demam, batuk-pilek atau diare.

Polifarmasi beresiko memicu interaksi obat. Suatu analisis terhadap sejumlah resep untuk pasien anak-anak yang masuk di suatu apotek di Jakarta Selatan pada tahun 2005 menunjukkan bahwa 53% diantaranya merupakan pemberian obat secara polifarmasi (lebih dari 4 obat) dan 12% diantaranya memicu timbulnya interaksi obat yang tidak diinginkan (sumber: Media Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan).

Di beberapa negara berkembang, persentase peresepan antibiotika yang sebenarnya tidak perlu diberikan berkisar antara 52% sampai 62%. Data yang terekam dari Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan YOP mencatat sedikitnya 47% antibiotika yang diberikan sebenarnya tidak diperlukan. Penggunaan antibiotika yang tidak tepat ini akan menimbulkan masalah
baru, yaitu resistensi kuman.

Menurut Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudi, Sp.FK dari Farmakologi FK-UI, pemberian resep racikan (puyer) di luar negeri saat ini hanya tinggal 1%. Sementara di Indonesia, resep puyer untuk anak masih sering sekali dijumpai. Dalam satu hari, apotek di salah satu rumah sakit swasta di Tangerang bisa membuat rata-rata 130 resep puyer.

"Peresepan obat racikan membawa risiko dan berbagai dampak negatif bagi pasien dan petugas farmasi. Kontrol kualitas sangat sulit dilaksanakan dalam pembuatan puyer karena tingginya kemungkinan kesalahan manusia. Selain itu, stabilitas obat tertentu dapat menurun bila bentuk aslinya digerus, sedangkan toksisitas obat dapat meningkat," jelas Rianto lebih lanjut.

Profesi kedokteran ditantang untuk mau dan mampu melakukan audit profesi dan audit kerasionalan dalam memberikan resep sehingga dampak negatifnya dapat dihindari, seperti meningkatnya biaya pengobatan yang tidak efisien serta terjadinya efek obat yang tidak diharapkan.

Kurangnya informasi terhadap bukti ilmiah baru tentang obat dan farmakoterapi tampaknya dihadapi kalangan profesional kesehatan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Ironisnya, kelemahan ini dimanfaatkan duta-duta farmasi sebagai peluang. Dengan gencar, para dokter dibanjiri informasi mengenai produk obat mereka. Sayang, informasi ini umumnya
tidak seimbang, cenderung dilebih-lebihkan, dan berpihak pada kepentingan komersial.

-Selesai-

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:

Yayasan Orang Tua Peduli

Komplek PWR, Jalan Taman Margasatwa No. 60, Jakarta 12540

Tel: (021) 780 0271

dr. Purnamawati S. Pujiarto, Sp.A(K), MMPed (purnamawati.spak@cbn.net.id)

dr. Yoga Pranata, S.Ked (doyogh@gmail.com)

____________

LATAR BELAKANG
Seminar "Puyer: Quo Vadis?"

Seminar "Puyer: Quo Vadis?" dilaksanakan atas dasar keprihatinan beberapa pihak akan maraknya pengobatan tidak rasional di Indonesia. Dalam technical briefing seminar WHO awal tahun 2004 perihal Kebijakan Obat Esensial dikemukakan bahwa di negara berkembang, jumlah obat yang diresepkan yang sebenarnya tidak perlu diberikan mencapai 39% – 59%. Hal ini tencerminkan tingginya uang untuk membeli obat yang sebenarnya tidak perlu alias pemborosan.

K. Holloway dalam technical briefing seminar WHO 2004 di Geneva menyatakan bahwa dari 30% – 60% pasien yang memperoleh antibiotika, hanya 10% – 25% saja yang benar-benar memerlukannya. Sementara obat-obatan ini jika diberikan kepada pasien memiliki efek samping yang tidak diinginkan.

Yayasan Orangtua Peduli (YOP) mengadakan dua penelitian cross sectional dengan mengumpulkan resep yang dikirim melalui e-mail ke mailing list SEHAT atau resep dan kwitansi yang dikirim ke YOP. Resep yang ditelaah adalah resep untuk anak dengan 4 kondisi yaitu batuk, pilek, demam (ISPA); demam, diare akut (dengan atau tanpa muntah); dan batuk tanpa demam lebih dari 1
minggu. Dari 160 anggota mailing list, temuan kunci penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

* Jumlah obat. Median jumlah obat yang diresepkan adalah 5 (dengan rentang 2 – 11 obat). Batuk merupakan kondisi yang jumlah obat dalam peresepannya paling tinggi yaitu 11 obat. Tingkat peresepan puyer mencapai 55,4% pada diare akut, 72,6% pada demam, 77,4% pada ISPA, dan 87% pada batuk.
* Antibiotika. Tingkat pemberian antibiotika paling tinggi pada anak demam yaitu 87% disusul dengan diare 75%, ISPA 54,5%, dan pada anak batuk tanpa demam sebesar 47%.
* Generik. Tingkat peresepannya sangat rendah yaitu 0% pada kasus demam, 5% pada diare akut, 7% pada ISPA dan 10,5% pada batuk tanpa demam.
* Steroid. Obat yang mengandung steroid diberikan pada anak batuk sebesar 60,9%, pada ISPA sebesar 50,9%; sebesar 53,5% pada demam dan bahkan pada diare 18,5%. Tingginya tingkat pemberian steroid sangat memprihatinkan, terlebih karena tidak sesuai tata laksana (guideline) penanganan penyakit-penyakit tersebut dan steroid yang diberikan merupakan steroid yang
cukup "keras".
* Suplemen. Peresepan multivitamin, ensim, "perangsang nafsu makan" atau "imunomodulator" cukup tinggi yaitu 21,9% pada ISPA, pada demam 34,9%, pada batuk 2,4% dan paling tinggi pada diare yaitu 61,9%.
* Biaya. Biaya yang dikeluarkan untuk membeli obat-obatan pada ISPA berkisar antara Rp 15.000 – Rp 747.000 (median Rp 117.500); demam Rp 20.800 – Rp 137.000 (maksimum Rp 326.000); diare akut Rp 56.000 – 161.000 (maksimum Rp 349.000). Analisis biaya pada peresepan pediatri di Jakarta menunjukkan tingginya biaya ketika dokter tidak bekerja sesuai tata laksana. Apalagi mengingat biaya bukan sekedar rupiah, tetapi juga harm atau potential harm yang ditimbulkan.

Penelitian menunjukkan adanya dua hal yang berperan dalam pengobatan tidak rasional, yakni keterbatasan pengetahuan petugas profesional kesehatan mengenai bukti-bukti ilmiah terkini, sehingga tidak jarang tetap meresepkan obat yang tidak diperlukan (misalnya antibiotika dan steroid untuk penyakit infeksi virus). Kedua, keyakinan dan perilaku pasien sangat berperan
dalam penetapan obat yang diberikan.

Salah satu contoh pengobatan tidak rasional adalah pemberian campuran berbagai obat yang diracik dan dijadikan "puyer" (obat bubuk) atau dimasukkan ke dalam kapsul atau sirup oleh petugas apotek (lazim disebut compounding).?

Peresepan obat puyer untuk anak di Indonesia sangat sering dilakukan karena beberapa faktor:

* Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan anak secara lebih tepat
* Biayanya bisa ditekan menjadi lebih murah
* Obat yang diserahkan kepada pasien hanya satu macam, walaupun mengandung banyak komponen

Menurut Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudi, Sp.FK dari Farmakologi FK-UI, peresepan obat puyer membawa risiko untuk pasien dan berbagai dampak negatif lainnya. Di negara maju, praktik ini sudah sangat berkurang karena:

1. Kemungkinan kesalahan manusia dalam pembuatan obat racik puyer ini tidak dapat diabaikan, misalnya kesalahan menimbang obat, atau membagi puyer dalam porsi2 yang tidak sama besar. Kontrol kualitas sulit sekali dapat dilaksanakan untuk membuat obat racikan ini.
2. Stabilitas obat tertentu yang dapat menurun bila bentuk aslinya digerus, misalnya bentuk tablet salut selaput (film coated), tablet salut selaput (enteric coated), atau obat yang tidak stabil (misalnya asam klavulanat) dan obat yang higroskopis (misalnya preparat yang mengandung enzim pencernaan)
3. Toksisitas obat dapat meningkat, misalnya preparat lepas lambat bila digerus akan kehilangan sifat lepas lambatnya.
4. Waktu penyediaan obat lebih lama. Rata-rata diperlukan 10 menit untuk membuat satu resep racikan puyer, 20 menit untuk racikan kapsul, sedangkan untuk mengambil obat yang sudah jadi hanya perlu kurang dari 1 menit. Kelambatan ini berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pasien terhadap layanan di apotek.
5. Efektivitas obat dapat berkurang karena sebagian obat akan menempel pada blender/mortir dan kertas pembungkus. Hal ini terutama terjadi pada obat-obat yang dibutuhkan dalam jumlah kecil, misalnya puyer yang mengandung klopromazin.
6. Pembuatan obat puyer menyebabkan pencemaran lingkungan yang kronis di bagian farmasi akibat bubuk obat yang beterbangan ke sekitarnya. Hal ini dapat merusak kesehatan petugas setempat.
7. Obat racikan puyer tidak dapat dibuat dengan tingkat higienis yang tinggi sebagaimana halnya obat yang dibuat pabrik karena kontaminasi yang tak terhindarkan pada waktu pembuatannya.
8. Pembuatan obat racikan puyer membutuhkan biaya lebih mahal karena menggunakan jam kerja tenaga di bagian farmasi sehingga asumsi bahwa harganya akan lebih murah belum tentu tercapai.
9. Dokter yang menulis resep sering kurang mengetahui adanya obat sulit dibuat puyer (difficult-to compound drugs) misalnya preparat enzim.
10. Peresepan obat racik puyer meningkatkan kecenderungan penggunaan obat irasional karena penggunaan obat polifarmasi tidak mudah diketahui oleh pasien.

Untuk rumah sakit yang ingin mencapai standar internasional, khususnya dalam melindungi keselamatan pasien, maka penulisan resep dan pembuatan obat racikan ini perlu dihapus. Kelak diharapkan semua kebutuhan obat untuk anak dapat dipenuhi berdasarkan obat formulasi pabrik. Peran Organisasi Profesi Kedokteran dan Kebijakan Pemerintah

Ada 3 agenda tindakan untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional. Pertama, pendekatan edukasi: konsep obat esensial dan aplikasinya serta pendidikan preskripsi yang rasional kepada mahasiswa kedokteran. Selain itu rumah sakit pendidikan punya tanggung jawab etis terhadap masyarakat untuk mempromosikan peresepan yang rasional melalui contoh konkret dari para staf pengajarnya. Sayangnya, justru rumah sakit pendidikan di Indonesia adalah tempat mengajarkan peresepan yang tidak rasional.

Agenda kedua adalah skim manajerial: melalui siklus pengadaan obat. Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) yang diimplementasikan secara konsisten dan diikuti dengan baik oleh setiap tingkat pelayanan kesehatan sangat penting artinya. Estimasi pengadaan obat harus didasarkan pada morbiditas (angka kesakitan), bukan atas dasar penggunaan sebelumnya.

Agenda ketiga, intervensi regulasi.


Peran Dokter dan Industri Farmasi

Suatu penelitian skala besar di beberapa negara maju menunjukkan sedikitnya tiga alasan mengapa para dokter cenderung abusive dalam pola peresepannya:

* Kurangnya kepercayaan diri (lack of confidence). Dokter sering kurang percaya diri untuk menyatakan bahwa penyakit pasien disebabkan infeksi virus dan tidak memerlukan antibiotika. Dokter juga khawatir pasien akan pindah ke dokter lain yang justru akan memberikan antibiotika. Saat pasien sembuh ia akan menganggap antibiotikanya lah yang menyembuhkan. Padahal, setiap penyakit memiliki pola perjalanan penyakit. Saat berobat ke dokter kedua, penyakitnya diambang kesembuhan. Jadi, sama sekali tidak ada hubungan dengan antibiotika yang diberikan.
* Desakan pasien (patient pressure). Tidak sedikit pasien yang meminta antibiotika atau menuntut obat cespleng. Di lain pihak, tidak sedikit pasien yang bersikap pasif, tidak bertanya atau mencari informasi perihal pengobatan yang diberikan.
* Desakan perusahaan (company pressure).

Peran Apoteker

Seorang apoteker di Kanada menceritakan tugasnya di sana, yang antara lain meliputi:

1. Pengecekan apakah resep dari dokter tidak salah untuk penyakit tertentu dan apakah dosisnya sudah tepat. Kalau resepnya salah, apoteker harus menghubungi dokter, sehingga kalau ada kesalahan, masih bisa diperbaiki.
2. Pengecekan kemungkinan interaksi obat. Setiap pasien mempunyai arsip di komputer apotek berisi obat-obat yang pernah dipakainya. Jadi kalau obat/resep baru bisa menyebabkan interaksi obat, apoteker harus memberitahukan dokter yang bersangkutan untuk mengganti obat, bila perlu.
3. Mengawasi apakah pasien adalah pengguna obat yang berlebihan atau drug's/narcotic's abuser. Walaupun pasien pindah ke apotek lain, kalau membeli obat jenis narkotika, riwayat pemakaian obat narkotika dapat diketahui sebab pemakaian obat narkotika disimpan di komputer sentral yang bisa di akses setiap apotek.
4. Konseling. Memberikan konsultasi kepada pelanggan adalah tugas yang sangat penting bagi apoteker.
5. Dari segi ekonomi, apoteker dianjurkan mengganti obat bermerek yang dianjurkan dokter dengan obat generik.

Peran Pasien

Era informasi ini telah menggulirkan pergeseran di berbagai aspek kehidupan termasuk aspek kesehatan khususnya di sisi pengetahuan dan kesadaran kesehatan. Khalayak umum dengan mudah memperoleh akses ke pengetahuan kesehatan. Kemudahan ini seperti mengisi kehausan ilmu kaum muda Indonesia yang sudah semakin menyadari haknya dan sudah mulai memposisikan dirinya sebagai konsumen.

Hal ini tercermin dari semakin meningkatnya upaya masyarakat dalam membekali diri dengan pengetahuan kesehatan. Mereka juga mencermati iklim layanan kesehatan baik di luar Indonesia dimana konsumen terbukti berhasil membantu mewujudkan iklim layanan kesehatan yang lebih baik dan rasional. Mereka juga gencar mencari dan berbagi informasi perihal siapa-siapa saja dokter yang rasional. Mereka bisa saja mengunjungi dokter dengan membawa artikel dan pedoman yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti internet, atau sudah memahami tatalaksana pemberian obat yang tepat (evidence-based medicine/EBM) dan pedoman (guidelines) yang ada.

Lalu bagaimana dokter menyikapi fenomena dan kondisi seperti ini? Penerapan pedoman dalam praktek sehari-hari, cepat atau lambat, akan membantu mengangkat citra profesionalisme dokter sebagai tenaga medis.

Peran Media Massa

Media massa memainkan peranan sangat besar sebagai sarana sosialisasi pengetahuan dan kebijakan baru bagi masyarakat. Sayangnya, banyak media massa yang tanpa disadari telah dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menyesatkan masyarakat dengan informasi yang tidak seimbang dan tidak tepat.

Peran Institusi Pendidikan Kedokteran dan Farmasi

Dokter, perawat, dan farmasis merupakan sumber bagi orang awam ketika membutuhkan informasi tentang obat. Sebagai konsekuensi, profesi ini dituntut untuk selalu memperbaharui ilmu yang mereka miliki dengan menghadiri berbagai konferensi, pelatihan, dan seminar tentang kedokteran termasuk penggunaan obat yang rasional. Kurangnya pengetahuan mengenai penggunaan obat yang rasional dapat mencerminkan kualitas pelayanan. Diperlukan program tentang penggunaan obat yang rasional yang meliputi pelatihan dalam praktek peresepan
dan dispensing yang tepat dan sistem yang mengatur pengawasan (monitoring) secara berkala terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mempromosikan penggunaan obat yang rasional.

Institusi kedokteran dan farmasi juga berperan dalam menyelenggarakan berbagai pendidikan berkelanjutan untuk tetap mempertahankan kompetensi yang dimiliki para dokter dan farmasis.

Suryawati dan Santoso tahun 1997 melakukan pelatihan untuk mahasiswa kedokteran yang akan menjalani magang klinik untuk mengenali klaim yang berlebihan atau indikasi yang diperluas tanpa didukung dasar ilmiah, infomasi yang salah tentang efek samping, rekomendasi yang tidak tepat untuk dosis dan penggunaan obat, informasi yang salah tentang profil farmakodinamik dan farmakokinetik, dan kurangnya informasi tentang peringatan dan pencegahan. Pelatihan ini terbukti efektif bahkan hingga 12 bulan setelahnya, pelatihan ini terbukti merupakan metode yang berguna untuk membekali mahasiswa dengan pengetahuan dan ketrampilan agar dapat menilai informasi tentang obat dan iklan secara kritis.

Penutup

Jelas sekali terlihat bahwa masalah penggunaan obat yang rasional bukan hanya tanggung jawab satu atau dua pihak saja (lihat diagram di bawah ini). Diperlukan kerja sama yang saling mendukung antar berbagai pihak.

Akhirnya, mari bergandengan tangan memperbaiki pola layanan kesehatan di Indonesia dengan menjunjung tinggi dua warisan filosofis. Pertama, warisan dari jaman Roma ketika Hippocrates mengingatkan para dokter untuk senantiasa mendahulukan kepentingan pasien. Kedua, warisan dari jaman Yunani ketika Galen meminta dokter untuk senantiasa menjunjung tinggi "Primum non no cere" atau Above all do not harm (harm di sini maknanya sangat filosofis).

Semoga profesi dokter bukan hanya mampu bertahan melainkan semakin berjaya dan profesional atas dasar etika tinggi, kompetensi dan transparansi. Semoga semua pihak dapat bergandengan tangan memberikan yang terbaik bagi masyarakat Indonesia umumnya, dan buat anak-anak Indonesia khususnya. Semua anak, termasuk anak Indonesia, berhak memperoleh layanan kesehatan yang terbaik.

-Selesai-

No comments: