ini adalah bentuk pemikiran, uneg-uneg, rasa cinta dan perasaan dalam tulisan dari seorang pecinta film, buku dan music.. terlebih lagi Kimi Raikkonen.. (suami dan anak2 mah udah pasti laa yaw.. !) ^_^

Wednesday, May 14, 2008

Hebring Namru.. Indonesia jadi korbannya

Hai para pemimpin umat... diakhirat nanti kalian akan dimintakan pertanggung-jawaban atas apa yang telah kalian lakukan untuk umatmu...

_____________________

Proyek Perang Kuman Itu di Indonesia

08 Mei 2008

Laboratorium Angkatan Laut AS sudah tiga tahun beroperasi tanpa kontrak. Penelitinya kebal diplomatik dan bebas berkeliaran tanpa pemeriksaan. Indonesia negara bagian Amerika?
Oleh: Amran Nasution *

Hidayatullah.com--Lihat saja, tak lama lagi berbagai serangan dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) tertentu akan ditujukan kepada Departemen Kesehatan. Lalu departemen itu akan jadi inceran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berbagai isu akan menerpa Siti Fadilah Supari, 59 tahun, Menteri Kesehatan yang memimpin departemen itu.

Yang penting, menteri ini harus diberi pelajaran. Oleh karenanya berbagai elemen antek Amerika di Indonesia -- yang bertebaran di pemerintahan, LSM, intelektual, pers, dan politisi – harus bekerja menyingkirkannya.

Skenario seperti ini secara eksplisit tergambar sebagai sesuatu yang lazim di dalam The Confessions of an Economic Hitman yang ditulis John Perkins, bekas intel ekonomi Amerika Serikat yang bertugas di Jakarta di tahun 1970-an. Perkins datang ke sini menyamar sebagai konsultan perusahaan Amerika, untuk membangun jaringan listrik. Tugas mereka sebenarnya adalah menguasai Indonesia dan Asia Tenggara, melalui jebakan utang luar negeri.

Lebih dari itu, seperti ditulis Perkins di bukunya, Amerika bisa memerintahkan pembunuhan atau penggulingan kekuasaan orang-orang yang mengganggu kepentingannya. Itu terjadi di berbagai negara Amerika Latin.

Siti Fadilah Supari adalah orang Indonesia pertama dalam beberapa dekade ini yang berani menentang kepentingan Amerika Serikat. Ia menjadi Soekarno di tahun 1960-an. Presiden pertama Indonesia itu dengan gagah berani berteriak, ‘’Go to hell’’, kepada Amerika. ‘’Pergilah ke neraka, Amerika.’’

Sesungguhnya ia patut ditabalkan sebagai patriot: Wanita Indonesia paling berani 2008. Ia berani mendobrak sistem dunia yang zalim, tak adil, yang menjadikan Amerika Serikat sebagai penguasa yang bisa bertindak seenak perut. Siti Fadilah Supari tak mau menjadi antek negeri adidaya itu, dan orang seperti dia dibutuhkan negeri yang sedang terpuruk dan rakyatnya terancam kelaparan. Itu semua karena banyak pemimpinnya yang lebih merasa nyaman menjadi antek daripada menegakkan martabat bangsa.

‘’Saya berjuang sendiri. Tapi ini sebuah ketidak-adilan yang bisa menuju pada kehancuran,’’ kata Siti. Betul, ia memang sendiri. Lebih 500 anggota DPR diam saja. Begitu pula anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang lebih sibuk kasak-kusuk untuk memperbesar kekuasaan. Tak ada dukungan pers, tak ada dukungan politisi, cendekiawan, atau siapa pun. Lihat betapa sulitnya tak mau menjadi antek di sebuah komunitas antek.

Februari lalu, ia melansir buku dalam edisi Indonesia berjudul, Saatnya Dunia Berubah, dan dalam edisi Inggris, It’s Time for the World to Change. Kedua edisi buku – dicetak cuma 2000 eksemplar – sudah terjual habis dan sedang dicetak ulang. Padahal buku itu sepi dari publikasi pers. Di buku ini, ia betul-betul menelanjangi praktek WHO, badan kesehatan dunia itu. Bagaimana WHO mewajibkan Indonesia mengirimkan virus flu burung ke laboratoriumnya di Hongkong. Tahu-tahu sampel itu sudah ada di tangan Amerika.

Bagaimana virus flu burung dari Vietnam diberikan WHO kepada perusahaan-perusahaan besar farmasi dunia untuk dijadikan vaksin, lalu dijual dengan harga seenaknya ke negara yang terserang flu burung – kebanyakan negara berkembang – tanpa konpensasi apa pun.

Lebih dari itu, gebrakan perempuan ini telah mengungkap praktek kotor WHO. Ternyata lembaga itu hanya alat Amerika dalam memperkuat arsenal perang biologisnya. Itu setelah terbukti data virus flu burung yang diambil dari Indonesia, disimpan di Los Alamos National Laboratory. Anda tahu itu tempat apa? Inilah salah satu laboratorium penelitian untuk mengembangkan nuklir dan rudal canggih Amerika. Nama Los Alamos – resminya berada di bawah University of California – menjadi terkenal ketika Desember 1999, seorang penelitinya ditangkap polisi federal FBI, dituduh menjual rudal nuklir W88 yang paling canggih waktu itu, kepada intelijen China.
Wen Ho Lee, peneliti itu, adalah warga Amerika kelahiran Taiwan, mendapat gelar Ph D dalam rekayasa industri dari Texas A&M University. Ternyata tuduhan tak terbukti, Wen Ho Lee dibebaskan. Kasusnya berkembang menjadi isu rasial. Wen dituduh dan ditangkap hanya karena dia satu-satunya peneliti berkulit kuning di laboratorium itu.

Tamengnya Perusahaan Farmasi

Jadi kalau sampel flu burung ada di Los Alamos, apa lagi gunanya kalau bukan untuk pengembangan senjata biologis (kuman). Wakil Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, John A. Heffern, membantah tuduhan. Katanya, Amerika tak mengembangkan senjata biologis karena terikat konvensi internasional tentang larangan senjata biologis.
Mister John ini mungkin menganggap semua orang Indonesia bodoh sehingga percaya saja pernyataannya. Betul, pada 1972, Presiden Richard Nixon menandatangani Biological and Toxin Weapons Convention (BTWC), yang mengharamkan penggunaan dan pengembangan senjata kuman dan racun. Nixon juga menutup pusat pengembangan senjata biologis di Fort Detrick, Maryland, dekat Washington, 3 tahun sebelumnya.

Konvensi diadakan karena pengembangan senjata itu di antara blok Barat pimpinan Amerika dan blok Timur pimpinan Uni Soviet di era perang dingin waktu itu sudah mengkhawatirkan. Tuduhan bahwa pasukan Amerika menggunakan senjata kimia dan biologis di Vietnam, kemudian di Laos dan Kamboja, sudah sulit dibantah. Amerika juga menggunakan senjata serupa di dalam Perang Korea, awal 1950-an.

Tentu saja orang tahu Amerika tak sungguh-sungguh melaksanakan isi konvensi. Para pengamat meyakini Amerika menyembunyikan program senjatanya dengan menggunakan tameng perusahaan-perusahaan farmasi di negerinya. Sebenarnya riset pengembangan senjata itu tak penah berhenti.

Apalagi BTWC sendiri dianggap macan ompong, tak memiliki ketentuan mengikat. Tak ada ketentuan yang mengizinkan pemeriksaan terhadap suatu laboratorium yang dicurigai. Pada Maret 2001, ada upaya dari Ketua Juru Runding BTWC, Tibor Toth, untuk mengusulkan sejumlah fasal yang lebih mengikat, misalnya, diperbolehkan pemeriksaan terhadap suatu proyek.

Tapi usulnya ditolak mentah-mentah oleh Presiden George Bush yang waktu itu sedang sibuk menakut-nakuti rakyatnya akan bahaya senjata kuman dari teroris. Karenanya, Amerika, kata Bush, harus mempersiapkan diri menangkalnya. Artinya, proyek perang kuman harus digalakkan.

Dengan penolakan itu, seperti ditulis di sebuah jurnal oleh Profesor Barbara Hatch Rosenberg, ahli senjata biologis dari State University of New York, ‘’Amerika Serikat dan komunitas internasional tak sungguh-sungguh mengupayakan pelarangan senjata biologis.’’

Proyek perang biologis Amerika berjalan secara tertutup, dan cukup aman atau steril dari pemberitaan pers. Soalnya, DPR Amerika Serikat meloloskan undang-undang yang melarang penyiaran informasi tentang riset kuman. Jelas undang-undang itu bertentangan dengan akta kebebasan informasi yang dibangga-banggakan para pendukung kebebasan Amerika di sini.

Belang Amerika Serikat terbuka ketika pecah perang Iran dengan Iraq di tahun 1980-an. Amerika membenci pemerintahan Islam Iran karena menjatuhkan bonekanya yang setia, Shah Iran. Selain Amerika khawatir Iran mengeskpor revolusi Islam ke sejumlah negara Timur Tengah yang mengakibatkan pengaruh super power itu terkikis di kawasan kaya minyak.

Maka Amerika membantu Irak yang dipimpin Saddam Hussein. Selain uang, informasi intelijen, senjata konvensional, Amerika (beserta Inggris dan Italy) mengirimkan senjata kimia dan biologis ke Irak.

Banyak tentara Iran menjadi korban. Foto mayat tentaranya dengan sekujur tubuh melepuh dibawa Iran ke PBB sebagai bahan bukti pengaduan. Tapi PBB tak berbuat apa-apa karena pengaruh Amerika Serikat.

Maka Saddam Hussein pun tambah berani. Sejumlah orang Kurdi dituduhnya berkhianat membantu Iran, diberi pelajaran dengan senjata Amerika itu. Kasus tersebut nanti yang menjadi alasan mengadili dan menghukum mati Saddam setelah Amerika menduduki Irak di tahun 2003. Sidang pengadilan tak pernah mengungkapkan bahwa senjata itu berasal dari Amerika. Maklumlah, sidang itu asal-asalan, terserah keinginan Presiden Bush, dan dilakukan di markas tentara Amerika di Baghdad.

Seusai perang , Saddam mengembangkan senjata biologis dari Amerika dan di kemudian hari itu yang dijadikan Presiden Bush dalih menyerang Irak (lihat Noam Chomsky dalam Failed States, Penguin Book, 2006).

Kalau dibaca buku House of Bush, House of Saud (Simon & Schuster, 2004) yang ditulis Craig Unger, wartawan terkenal dan penulis sejumlah buku, sebenarnya Saddam telah mendapat restu dari Presiden Ronald Reagan untuk menyerang orang Kurdi di Halabja, sebuah kota Iraq di perbatasan Iran, dengan senjata kimia dan biologis. Seperti dikutip buku itu dari koran The Los Angeles Times, Saddam menggunakan helikopter Amerika untuk menebarkannya, menyebabkan kematian 5000 orang Kurdi. Kasus inilah kelak mengantarkan Saddam ke tiang gantungan.

Di buku itu, diungkap jelas bagaimana Presiden Reagan dan pembantunya memberi fasilitas kepada Saddam untuk mengembangkan senjata itu. Departemen Perdagangan Amerika pernah berupaya menghalangi pengiriman berbagai fasilitas, tapi tak berdaya karena berhadapan dengan Gedung Putih. Senat dan Kongres tak bersuara. Sejumlah memo autentik yang relevan kini menjadi bukti tak terbantahkan.

Senjata biologis terhitung efektif sebagai alat pembunuh massal, biayanya murah, dan instalasinya gampang disembunyikan atau disamarkan dibanding instalasi nuklir atau senjata kimia. Laboratorium untuk membuatnya tak terlalu beda dengan laboratorium penelitian farmasi.

Ken Alibek, pakar utama senjata biologis Uni Soviet yang membelot ke Amerika di tahun 1990-an, menulis di dalam bukunya Biohazard, bahwa hulu ledak dengan 100 kg virus anthrax yang ditembakkan dengan rudal mampu membunuh 3 juta penduduk di suatu kota padat penghuni. Itu betul-betul senjata setan.

Selain anthrax yang dikenal sebagai penyakit sapi amat berbahaya, berbagai jenis mikroorganisme penyebab penyakit mematikan lainnya dipergunakan, seperti virus ebola, demam yang amat membunuh yang ditemukan di Afrika, virus smallpox (cacar), dan influenza. Tentu virus flu burung -- menyerang hewan dan manusia – yang sulit ditaklukkan dan sekarang berkecamuk di Indonesia, cukup layak dijadikan senjata pemusnah massal. Dari sini tampaknya peran Namru 2 menjadi penting.

Dua tahun lalu, US Army Medical Research Institute of Infectious Disease (USAMRIID) di Fort Detrick, Maryland, yang disebut-sebut sebagai pusat pengembangan senjata biologis Amerika Serikat, telah menemukan vaksin penyakit chikungunya. Penyakit demam yang membuat nyeri pada otot dan bisa melumpuhkan – di sini disebut penyakit lumpuh layu – tampaknya memenuhi kriteria. Dengan itu diduga Amerika Serikat telah mengembangkan virus chikungunya untuk senjata kuman. Entah kebetulan, virus itu kini menyerang pedesaan Indonesia.

Amerika pertama kali melengkapi militernya dengan sistem senjata biologis pada 1942, di masa Perang Dunia ll sedang berkecamuk. Itu guna mengantisipasi kehebatan roket Jerman yang menghujani Inggris. Muncul kekhawatiran kalau roket itu membawa kuman akan sangat membahayakan. Selain itu, Jepang musuh Amerika di kawasan Pasifik, sangat maju dalam riset senjata kuman. Laboratoriumnya sudah lama ada di China.
Maka didirikanlah institusi militer untuk perang kimia dan kuman (The Army Chemical Warfare Service) di Fort Detrick, Marylan, dengan supervisi George W. Merck, pemilik perusahaan farmasi Merck. Fort Detrick dilengkapi berbagai infrastruktur riset dan pengembangan. Uji coba dilakukan di Utah dan Mississippi. Sedang pabrik untuk memproduksinya didirikan di Terre Haute, Indiana.

Seusai Perang Dunia ll, proyek itu lebih digalakkan. Sejumlah ahli senjata biologis Jepang diberi amnesti, setelah bersedia bekerja untuk Amerika. Mereka ditempatkan di bagian khusus yang disebut Unit 731. Jangan heran kalau selama Perang Korea, tentara Amerika yang terdesak oleh pasukan Korea Utara dibantu China, menggunakan senjata itu. Walau kenyataannya mereka kalah juga.

Memang setelah Amerika menandatangani Biological and Toxin Weapons Convention (BTWC), terjadi pembekuan proyek ini. Tapi tak berarti senjata itu dimusnahkan. Terbukti Amerika masih menggunakannya di Laos dan Kamboja, atau diberikan kepada Saddam Hussein. Inilah bukti konkret kalau bantahan Wakil Dubes John A.Heffern tadi tak sesuai dengan fakta yang terjadi.

Koran utama Amerika, The New York Times, 7 September 1982 – sekitar 10 tahun setelah konvensi ditandatangani – menulis bahwa senjata itu masih ada di sebagian basis militer Amerika Serikat. Para ilmuwan tentara masih tetap terlibat pada apa yang mereka sebut riset senjata biologis untuk kepentingan pertahanan (medical defensive B.W. research).

Lalu pada Februai 1989, Kolonel David L. Huxsoll, Komandan USAMRIID, secara terus terang mengakui kepada pers bahwa tentara Amerika Serikat melakukan percobaan pengobatan terhadap pasien di China dan Argentina. Para pasien di China diduga korban serangan senjata biologis Amerika Serikat dalam Perang Korea. Pengobatan yang sama dilakukan di Liberia, Korea Selatan, dan Mesir.

Langkah itu dikecam keras oleh para ahli kesehatan Amerika Serikat. Tindakan itu dianggap hanya akan memulai kembali perlombaan senjata biologis dunia. Dalam pertemuan tahunan asosiasi untuk kemajuan ilmu (The American Association for the Advancement of Science), Januari 1989, para ahli berpendapat tak selayaknya pasukan Amerika terlibat dalam program kesehatan masyarakat sipil. Pengobatan di China dan Argentina, semestinya dilakukan lembaga kesehatan sipil bukan militer.

Di forum itu, Dr Keith Yamamoto dari University of California at San Francisco mengatakan dana riset akan lebih efisien bila digunakan lembaga sipil. Selain itu, kalau tetap dilakukan militer akan menimbulkan kecurigaan bahwa riset militer telah menyamar ke dalam kegiatan pemeliharaan kesehatan publik (The New York Times, 6 Februari 1989).

Apa yang dipersoalkan Keith Yamamoto itulah yang terjadi dalam proyek Namru 2, laboratorium Angkatan Laut Amerika yang sudah bercokol di Jakarta sejak tahun 1970. Rupanya Namru (Naval Medical Research Unit) cukup strategis bagi militer Amerika. Proyek itu sudah didirikan sejak tahun 1940. Ia ada di Mesir, Ghana, dan Peru, selain di Indonesia. Dengan jaringan itu, ia merupakan fasilitas riset medis militer terbesar di dunia.

Resminya, Namru meneliti berbagai penyakit untuk kepentingan tentara Amerika bila suatu waktu bertugas di daerah itu. Sebenarnya, ini pekerjaan yang bisa dilakukan institusi sipil, seperti pendapat Keith Yamamoto. Karenanya tak sulit ditebak, ia tentu bagian dari program perang biologis Amerika. Itulah sebabnya para peneliti Namru di Indonesia membutuhkan kekebalan diplomatik, sehingga bebas ke mana saja, dan bebas membawa apa saja – termasuk sampel kuman -- keluar-masuk Indonesia tanpa pemeriksaan apa pun.

Itu pula sebabnya markasnya di Jalan Percetakan Negara, Jakarta, tertutup. Itu dibuktikan sendiri oleh Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari ketika sang menteri mendadak singgah ke sana, 16 April lalu. Meski fasilitas gedung yang dipakai Namru 2 adalah milik Departemen Kesehatan, Siti Fadilah Supari sendiri sulit masuk ke dalamnya. Baru setelah menunggu di luar sekian lama, menteri diperkenankan masuk. Rupanya ada rahasia yang tak boleh diketahui menteri yang harus diamankan terlebih dulu.

Tapi yang terpenting: apa untungnya Namru 2 bagi rakyat Indonesia? Jelas tak ada. Buktinya, bermacam penyakit menular dan mematikan bukannya berkurang, malah tambah merejalela dengan Namru bercokol di sini. Karena itu lebih baik proyek perang kuman Amerika Serikat itu segera ditutup. Apalagi kontrak kerja samanya sudah berakhir 31 Desember 2005.

Bagamana wibawa kedaulatan negara ini kalau bule-bule itu masih bebas berkeliaran seenaknya di sini? Padahal Indonesia bukan negara bagian Amerika dan Presiden SBY bukan gubernur dari Pemerintahan George Bush.

Tapi itulah, terlalu banyak para pemimpin negeri ini yang menghambakan diri kepada Amerika. Buktinya, tanpa perjanjian dan kontrak apa pun sudah 3 tahun Namru 2 bisa terus beroperasi dengan bebas di Indonesia. Sekarang seorang Siti Fadilah Supari menggugatnya. Menarik diikuti bagaimana cerita ini berakhir.

Habis [www.hidayatullah.com]
Penulis adalah direktur Institute for Policy Studies.

Tuesday, May 13, 2008

Ahmadiyah.. Perangi atau keluarkan dari Islam..

tentang Ahmadiyah lagi. Kali ini oleh DR Syamsuddin Arif, salah satu peneliti INSIST.
Ada beberapa referensi baru/update. Artikel, IMHO, ini bagus; ditulis dengan gaya kalem ala Islib dengan muatan yang tentu saja berlawanan dengan Islib.

=====================

Jalan Keluar Bagi Ahmadiyah
Jumat, 09 Mei 2008
Ulama besar India yang paling disegani pada zamannya, Syed Abul Hasan Ali an-Nadwi, mengatakan gerakan Ahmadiyah ‘menambah beban’ pekerjaan rumah umat Islam

Oleh: DR Syamsuddin Arif

“Saya tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujaddid [pembaharu]”, tulis Ir. Soekarno dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, jilid 1, cetakan ke-2, Gunung Agung Jakarta, 1963, hlm. 345. Mantan Presiden RI pertama itu tidak keliru dan bukan pula sendirian. Jauh sebelum itu, tokoh pemikir masyhur Sir Muhammad Iqbal ketika ditanya oleh Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India waktu itu, perihal Ahmadiyah dengan tegas menjawab bahwa wahyu kenabian sudah final dan siapapun yang mengaku dirinya nabi penerima wahyu setelah Muhammad saw adalah pengkhianat kepada Islam: “No revelation the denial of which entails heresy is possible after Muhammad. He who claims such a revelation is a traitor to Islam” (Lihat: Islam and Ahmadism, cetakan Islamabad: Da‘wah Academy, 1990, hlm. 8).

Iqbal menangkap banyak kemiripan antara gerakan Ahmadiyah di India dengan Babiyah di Persia (Iran), yang pendirinya juga mengklaim dapat wahyu sebagai nabi. Menurut Iqbal, tokoh-tokoh kedua aliran sesat ini merupakan alat politik ‘belah bambu’ kolonialis Inggris -yang waktu itu masih bercokol di India- dan imperialis Rusia –yang sempat menjajah Asia Tengah dan sebagian Persia. Akidah mereka adalah ‘kepasrahan pada penguasa’ (political servility), jelas Iqbal (hlm. 13). Jika pemerintah Russia mengijinkan Babiyah membuka markas mereka di Ishqabad, Turkmenistan, maka pemerintah Inggris merestui Ahmadiyah mendirikan pusat misi mereka di Woking, wilayah tenggara England. Bagi Iqbal, doktrin-doktrin Ahmadiyah hanya akan mengembalikan orang kepada kebodohan. Inti dari Ahmadisme atau Qadianisme –demikian Iqbal lebih suka menyebutnya- adalah rekayasa mencipta sebuah umat baru bagi nabi India (sebagai tandingan nabi Arabia): “to carve out, from the Ummat of the Arabian Prophet, a new ummat for the Indian prophet.” (hlm. 2).

Seorang ulama India yang paling disegani pada zamannya, Syed Abul Hasan Ali an-Nadwi, sesudah mempelajari secara intensif dan objektif perjalanan hidup dan ‘evolusi’ Mirza Ghulam Ahmad dari seorang santri sederhana hingga menjadi pembela agama (1880) dan mengaku imam mahdi alias masih maw‘ud (1891) serta menganggap dirinya nabi (1910), menyimpulkan bahwa gerakan Ahmadiyah ini hanya menambah beban pekerjaan rumah umat Islam, memecah-belah mereka, dan membikin masalah umat kian rumit (Lihat: Qadianism: A Critical Study, cetakan Lucknow 1980, hlm. 155). Bahwa esensi ajaran Ahmadiyah adalah klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad juga disimpulkan oleh Yohanan Friedman, peneliti dari Hebrew University of Jerusalem, dalam bukunya, Prophecy Continous: Aspects of Ahmadi Religious Thought and Its Medieval Background, Berkeley: University of California Press, 1989, hlm. 119, 181 dan 191.

Ajaran sesat Ahmadiyah dibawa masuk ke Indonesia sekitar tahun 1925 oleh beberapa pemuda asal Sumatera yang pernah dididik di Qadian, India selama beberapa tahun. Demi menyebarkan pahamnya, misionaris Ahmadiyah telah menerbitkan majalah “Sinar Islam” (sic!), Studi Islam dan Fathi Islam. Keresahan yang ditimbulkan oleh gerakan penyesatan umat ini sempat menyeret mereka beberapa kali ke dalam debat terbuka pada 1933 di Bandung (Lihat: Fawzy S. Thaha, Ahmadiyah dalam Persoalan, cetakan Singapura, 1982). Meski telah dinyatakan sesat dan kafir (murtad) oleh tokoh-tokoh Islam pada Muktamar ke-5 Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1930 di Pekalongan dan musyawarah Ulama Sumatera Timur tahun 1935, kasus Ahmadiyah kembali mencuat pada 1974 setelah parlemen Pakistan dengan tegas menyatakan penganut Ahmadiyah bukan orang Islam (non Muslim) di mata hukum dan undang-undang negara.

Pada tahun 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang waktu itu dipimpin Buya Hamka telah pun menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat lagi menyesatkan, dan orang yang menganutnya adalah murtad alias keluar dari Islam (No.05/Kep/Munas/II/MUI/1980). Ketetapan tersebut ditegaskan kembali pada bulan Juli 2005 dalam fatwa resmi MUI yang ditandatangani oleh Prof. Dr. H. Umar Shihab dan Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin. Kemudian Dirjen Bimas Islam Departemen Agama melalui surat edarannya tahun 1984 telah menyeru seluruh umat Islam agar mewaspadai gerakan Ahmadiyah.

Terakhir, 16 April 2008 lalu Bakorpakem (Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) menyatakan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai kelompok sesat dan oleh karenanya merekomendasikan perlunya diberi peringatan keras lewat suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri (sesuai dengan UU No 1/PNPS/1965) agar Ahmadiyah menghentikan segala aktivitasnya. Menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat Depag, Atho Mudzhar, yang juga Ketua Tim Pemantau, selama tiga bulan Bakorpakem memantau 55 komunitas Ahmadiyah di 33 kabupaten. Sebanyak 35 anggota tim pemantau bertemu 277 warga Ahmadiyah. Ternyata, ajaran Ahmadiyah masih menyimpang. Di seluruh cabang, Mirza Ghulam Ahmad (MGA) tetap diakui sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw. Selain itu, penganut Ahmadiyah meyakini bahwa kitab Tadzkirah adalah kumpulan wahyu yang diterima MGA.

Para penganut dan penyokong Ahmadiyah kerap berkelit dengan tiga dalih. Pertama, kaum Ahmadi sama dengan kaum Muslimin karena syahadatnya sama. Bandingkan pernyataan ini dengan pernyataan: orang Ahmadiyah itu sama dengan ‘orang utan’ karena sama-sama orang. Jelas dalam perkara ini yang penting bukan kemiripannya, akan tetapi justru perbedaannya. Yang membuat orang utan itu beda dengan Ahmadi itu bukan keorangannya, melainkan keutanannya itu. Demikian pula, Ahmadiyah itu berbeda dengan orang Islam bukan karena syahadat atau cara ibadahnya, tetapi karena akidahnya yang mengimani kenabian Mirza Ghulam Ahmad.

Kedua, dalih bahwa sebagai warganegara penganut Ahmadiyah dijamin kebebasannya oleh konstitusi. Melarang Ahmadiyah sama dengan melanggar hak asasi manusia (HAM) dan Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945. Di sini terselip kealpaan dan ketidakmengertian. Alpa dan tidak paham bahwa dalam ‘menikmati’ kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada batasan undang-undang yang telah ditetapkan demi terjaminnya penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan demi memenuhi tuntutan keadilan sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Artinya, penyalahgunaan kebebasan (abuse of freedom) ataupun tindakan merusak tata susila, agama, dan lain sebagainya atas nama HAM tak dapat dibenarkan sama sekali. Apa yang diperbuat MGA dengan Ahmadiyahnya ibarat membangun rumah baru di dalam rumah orang lain. Yang dipersoalkan bukan hak dan kebebasannya mendirikan rumah, akan tetapi lokasi (di dalam rumah orang lain) dan konsekuensinya (merusak rumah yang sedia ada).

Dengan mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi, warga Ahmadiyah telah melakukan penodaan dan penghinaan terhadap agama Islam, di mana tidak ada nabi dan rasul lagi pasca wafatnya Muhammad Rasulullah saw. Lebih dari itu, propaganda Ahmadiyah terbukti menimbulkan keresahan dan perpecahan tidak hanya di dunia Islam, seperti temuan Dr Tony P.Chi dalam disertasinya tentang misi mereka di Amerika (1973), hlm. 134-5: “Ahmadiyya preaching and propagation have instigated unrest and dissension in the Muslim World.” Oleh karena itu solusinya ialah melarang Ahmadiyah atau mengeluarkannya dari ‘rumah Islam’. Hanya dengan jalan itu Ahmadisme dengan nabinya (MGA) bisa bebas dan menjadi agama baru seperti halnya Mormonisme di Amerika.

Ketiga, dalih bahwa kaum Muslim harus mengedepankan kasih sayang daripada kekerasan dalam menyikapi Ahmadiyah. Saran ini lebih tepat kalau diberikan kepada Pemerintah Amerika dan Israel agar memakai kasih sayang dan menghentikan kekerasan terhadap kaum Muslim di Iraq dan Palestina. “Abu Bakr as-Shiddiq ra adalah orang yang paling penyayang di kalangan umatku (arhamu ummati),” sabda Rasulullah saw. Namun manakala muncul sekelompok orang yang durhaka kepada Allah dan Rasulullah, beliau tidak segan-segan mengambil tindakan tegas atas mereka. Perkara Ahmadiyah bukan persoalan kebebasan beragama. Islam memberikan kebebasan kepada siapa pun untuk memeluk –bukan merusak- agama apapun, sesuai dengan firman Allah: ‘Tidak ada paksaan dalam urusan agama’ (Al-Baqarah 256) serta ‘Bagimu agamamu dan bagiku agamaku’ (Al-Kāfirūn 6). Ayat-ayat ini ditujukan kepada agama lain di luar Islam, bukan terhadap agama dalam agama.

Tak heran jika Rasulullah saw sebagai kepala negara bersikap tegas kepada para nabi palsu semacam Musaylamah dan Thulayhah: bertobat atau diperangi (Lihat: Imam al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, cetakan Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, jilid 13, hlm. 109). Nah, Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya telah durhaka kepada Allah dan RasulNya. Andaikata statusnya Muslim, maka sudah semestinya tunduk pada ketetapan hukum Islam yang berlaku. Namun jika statusnya sudah non-Muslim, maka terpulang kepada negara apakah akan mengakui dan melindungi keberadaannya sebagai sebuah agama baru –selain Hindu, Budha, Islam, Katholik dan Protestan– ataukah sebaliknya.

* Penulis adalah staf pengajar di Universitas Islam Antarabangsa Malaysia

Gerakan anti Puyer & Pro RUD

FYI

kita dan anak2 kita, selaku konsumen yang merasakan sendiri akibat yang ditimbulkan atas penggunaan obat yang tidak rasional (unRational Used of Drugs), seharusnya lebih aware atas praktek industri medis saat ini.. jangan sampai kita menjadi korban atas ketidak-tahuan kita sendiri.. dan yang lebih penting sayangilah hati kita.. karena semua obat yang kita minum akan diproses di hati...

NB: Isinya sama persis dengan yg ada di koran Suara Merdeka hari Selasa tgl 6/05/08

____________________________________________________

BERITA PERS

Dapat Segera Diterbitkan

Pengobatan Tidak Rasional Marak Di Indonesia

JAKARTA, 3 Mei 2008 – Penggunaan obat yang tidak rasional masih marak di Indonesia, dan masalah ini menjadi tanggung jawab banyak pihak, dari pembuat kebijakan, asosiasi profesi tenaga kesehatan, industri farmasi, dokter, apoteker, hingga media massa dan pasien. Kerja sama dan dukungan semua pihak mutlak diperlukan untuk memperbaiki kualitas pola pengobatan menjadi rasional sebagaimana dianjurkan Badan Kesehatan Dunia WHO.

Menurut WHO, pengobatan yang rasional adalah pemberian obat yang sesuai kebutuhan pasien, dalam dosis yang sesuai dan periode waktu tertentu, serta dengan biaya serendah mungkin baik bagi pasien maupun komunitasnya. Pola pengobatan yang tidak mengikuti kaidah-kaidah di atas adalah pola pengobatan tidak rasional.

Demikian topik utama seminar Puyer: Quo Vadis? yang diselenggarakan Yayasan Orang Tua Peduli (YOP) bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Jakarta dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) hari ini di Aula FK-UI Salemba. Seminar yang diharapkan menjadi titik balik dunia kedokteran Indonesia untuk menata kembali pola pemberian obat agar menjadi rasional ini dihadiri konsumen kesehatan, dokter umum, farmasis, mahasiswa tingkat akhir dan staf pengajar FK-UI.

Para pakar dari berbagai kalangan hadir sebagai panelis: Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudi, Sp.FK (Farmakologi FK-UI); dr. Purnamawati S. Pujiarto, Sp.A(K), MMPed (YOP); Dra. Ida Z. Hafiz, Apt. Msi (Farmasi FK-UI); Prof. dr. Effionora Anwar, M.S., Apt. (Farmasi FMIPA-UI); Huzna Zahir (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia); dr. Prijo Sidipratomo, Sp.Rad (K) (IDI wilayah DKI Jakarta); Prof. dr. Mardiono Marsetio, Sp.M (K) (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran); dan dr. Zunilda S. Bustami, MS, Sp.FK (Farmakologi UI). Dr. Dra. Delina Hasan Apt, M.Kes bertindak selaku moderator diskusi terbuka di akhir acara.

Topik yang dibahas meliputi praktik peresepan yang baik, konsep pengobatan rasional, puyer dari perspektif farmasi, serta praktik pengobatan di negara lain. Pemaparan para ahli ini dilengkapi testimoni pekerja dan konsumen kesehatan mengenai pengalaman pengobatan dalam praktik sehari-hari.

Contoh pola pengobatan tidak rasional adalah pemberian beberapa obat sekaligus pada saat bersamaan dalam kondisi yang tidak perlu (polifarmasi), pemberian antibiotika yang berlebihan, serta tingginya tingkat pemakaian obat yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Salah satu contoh polifarmasi adalah pemberian puyer atau racikan (compounding) yang berisi beberapa obat sekaligus untuk anak-anak dengan gangguan kesehatan ringan harian seperti demam, batuk-pilek atau diare.

Polifarmasi beresiko memicu interaksi obat. Suatu analisis terhadap sejumlah resep untuk pasien anak-anak yang masuk di suatu apotek di Jakarta Selatan pada tahun 2005 menunjukkan bahwa 53% diantaranya merupakan pemberian obat secara polifarmasi (lebih dari 4 obat) dan 12% diantaranya memicu timbulnya interaksi obat yang tidak diinginkan (sumber: Media Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan).

Di beberapa negara berkembang, persentase peresepan antibiotika yang sebenarnya tidak perlu diberikan berkisar antara 52% sampai 62%. Data yang terekam dari Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan YOP mencatat sedikitnya 47% antibiotika yang diberikan sebenarnya tidak diperlukan. Penggunaan antibiotika yang tidak tepat ini akan menimbulkan masalah
baru, yaitu resistensi kuman.

Menurut Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudi, Sp.FK dari Farmakologi FK-UI, pemberian resep racikan (puyer) di luar negeri saat ini hanya tinggal 1%. Sementara di Indonesia, resep puyer untuk anak masih sering sekali dijumpai. Dalam satu hari, apotek di salah satu rumah sakit swasta di Tangerang bisa membuat rata-rata 130 resep puyer.

"Peresepan obat racikan membawa risiko dan berbagai dampak negatif bagi pasien dan petugas farmasi. Kontrol kualitas sangat sulit dilaksanakan dalam pembuatan puyer karena tingginya kemungkinan kesalahan manusia. Selain itu, stabilitas obat tertentu dapat menurun bila bentuk aslinya digerus, sedangkan toksisitas obat dapat meningkat," jelas Rianto lebih lanjut.

Profesi kedokteran ditantang untuk mau dan mampu melakukan audit profesi dan audit kerasionalan dalam memberikan resep sehingga dampak negatifnya dapat dihindari, seperti meningkatnya biaya pengobatan yang tidak efisien serta terjadinya efek obat yang tidak diharapkan.

Kurangnya informasi terhadap bukti ilmiah baru tentang obat dan farmakoterapi tampaknya dihadapi kalangan profesional kesehatan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Ironisnya, kelemahan ini dimanfaatkan duta-duta farmasi sebagai peluang. Dengan gencar, para dokter dibanjiri informasi mengenai produk obat mereka. Sayang, informasi ini umumnya
tidak seimbang, cenderung dilebih-lebihkan, dan berpihak pada kepentingan komersial.

-Selesai-

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:

Yayasan Orang Tua Peduli

Komplek PWR, Jalan Taman Margasatwa No. 60, Jakarta 12540

Tel: (021) 780 0271

dr. Purnamawati S. Pujiarto, Sp.A(K), MMPed (purnamawati.spak@cbn.net.id)

dr. Yoga Pranata, S.Ked (doyogh@gmail.com)

____________

LATAR BELAKANG
Seminar "Puyer: Quo Vadis?"

Seminar "Puyer: Quo Vadis?" dilaksanakan atas dasar keprihatinan beberapa pihak akan maraknya pengobatan tidak rasional di Indonesia. Dalam technical briefing seminar WHO awal tahun 2004 perihal Kebijakan Obat Esensial dikemukakan bahwa di negara berkembang, jumlah obat yang diresepkan yang sebenarnya tidak perlu diberikan mencapai 39% – 59%. Hal ini tencerminkan tingginya uang untuk membeli obat yang sebenarnya tidak perlu alias pemborosan.

K. Holloway dalam technical briefing seminar WHO 2004 di Geneva menyatakan bahwa dari 30% – 60% pasien yang memperoleh antibiotika, hanya 10% – 25% saja yang benar-benar memerlukannya. Sementara obat-obatan ini jika diberikan kepada pasien memiliki efek samping yang tidak diinginkan.

Yayasan Orangtua Peduli (YOP) mengadakan dua penelitian cross sectional dengan mengumpulkan resep yang dikirim melalui e-mail ke mailing list SEHAT atau resep dan kwitansi yang dikirim ke YOP. Resep yang ditelaah adalah resep untuk anak dengan 4 kondisi yaitu batuk, pilek, demam (ISPA); demam, diare akut (dengan atau tanpa muntah); dan batuk tanpa demam lebih dari 1
minggu. Dari 160 anggota mailing list, temuan kunci penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

* Jumlah obat. Median jumlah obat yang diresepkan adalah 5 (dengan rentang 2 – 11 obat). Batuk merupakan kondisi yang jumlah obat dalam peresepannya paling tinggi yaitu 11 obat. Tingkat peresepan puyer mencapai 55,4% pada diare akut, 72,6% pada demam, 77,4% pada ISPA, dan 87% pada batuk.
* Antibiotika. Tingkat pemberian antibiotika paling tinggi pada anak demam yaitu 87% disusul dengan diare 75%, ISPA 54,5%, dan pada anak batuk tanpa demam sebesar 47%.
* Generik. Tingkat peresepannya sangat rendah yaitu 0% pada kasus demam, 5% pada diare akut, 7% pada ISPA dan 10,5% pada batuk tanpa demam.
* Steroid. Obat yang mengandung steroid diberikan pada anak batuk sebesar 60,9%, pada ISPA sebesar 50,9%; sebesar 53,5% pada demam dan bahkan pada diare 18,5%. Tingginya tingkat pemberian steroid sangat memprihatinkan, terlebih karena tidak sesuai tata laksana (guideline) penanganan penyakit-penyakit tersebut dan steroid yang diberikan merupakan steroid yang
cukup "keras".
* Suplemen. Peresepan multivitamin, ensim, "perangsang nafsu makan" atau "imunomodulator" cukup tinggi yaitu 21,9% pada ISPA, pada demam 34,9%, pada batuk 2,4% dan paling tinggi pada diare yaitu 61,9%.
* Biaya. Biaya yang dikeluarkan untuk membeli obat-obatan pada ISPA berkisar antara Rp 15.000 – Rp 747.000 (median Rp 117.500); demam Rp 20.800 – Rp 137.000 (maksimum Rp 326.000); diare akut Rp 56.000 – 161.000 (maksimum Rp 349.000). Analisis biaya pada peresepan pediatri di Jakarta menunjukkan tingginya biaya ketika dokter tidak bekerja sesuai tata laksana. Apalagi mengingat biaya bukan sekedar rupiah, tetapi juga harm atau potential harm yang ditimbulkan.

Penelitian menunjukkan adanya dua hal yang berperan dalam pengobatan tidak rasional, yakni keterbatasan pengetahuan petugas profesional kesehatan mengenai bukti-bukti ilmiah terkini, sehingga tidak jarang tetap meresepkan obat yang tidak diperlukan (misalnya antibiotika dan steroid untuk penyakit infeksi virus). Kedua, keyakinan dan perilaku pasien sangat berperan
dalam penetapan obat yang diberikan.

Salah satu contoh pengobatan tidak rasional adalah pemberian campuran berbagai obat yang diracik dan dijadikan "puyer" (obat bubuk) atau dimasukkan ke dalam kapsul atau sirup oleh petugas apotek (lazim disebut compounding).?

Peresepan obat puyer untuk anak di Indonesia sangat sering dilakukan karena beberapa faktor:

* Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan anak secara lebih tepat
* Biayanya bisa ditekan menjadi lebih murah
* Obat yang diserahkan kepada pasien hanya satu macam, walaupun mengandung banyak komponen

Menurut Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudi, Sp.FK dari Farmakologi FK-UI, peresepan obat puyer membawa risiko untuk pasien dan berbagai dampak negatif lainnya. Di negara maju, praktik ini sudah sangat berkurang karena:

1. Kemungkinan kesalahan manusia dalam pembuatan obat racik puyer ini tidak dapat diabaikan, misalnya kesalahan menimbang obat, atau membagi puyer dalam porsi2 yang tidak sama besar. Kontrol kualitas sulit sekali dapat dilaksanakan untuk membuat obat racikan ini.
2. Stabilitas obat tertentu yang dapat menurun bila bentuk aslinya digerus, misalnya bentuk tablet salut selaput (film coated), tablet salut selaput (enteric coated), atau obat yang tidak stabil (misalnya asam klavulanat) dan obat yang higroskopis (misalnya preparat yang mengandung enzim pencernaan)
3. Toksisitas obat dapat meningkat, misalnya preparat lepas lambat bila digerus akan kehilangan sifat lepas lambatnya.
4. Waktu penyediaan obat lebih lama. Rata-rata diperlukan 10 menit untuk membuat satu resep racikan puyer, 20 menit untuk racikan kapsul, sedangkan untuk mengambil obat yang sudah jadi hanya perlu kurang dari 1 menit. Kelambatan ini berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pasien terhadap layanan di apotek.
5. Efektivitas obat dapat berkurang karena sebagian obat akan menempel pada blender/mortir dan kertas pembungkus. Hal ini terutama terjadi pada obat-obat yang dibutuhkan dalam jumlah kecil, misalnya puyer yang mengandung klopromazin.
6. Pembuatan obat puyer menyebabkan pencemaran lingkungan yang kronis di bagian farmasi akibat bubuk obat yang beterbangan ke sekitarnya. Hal ini dapat merusak kesehatan petugas setempat.
7. Obat racikan puyer tidak dapat dibuat dengan tingkat higienis yang tinggi sebagaimana halnya obat yang dibuat pabrik karena kontaminasi yang tak terhindarkan pada waktu pembuatannya.
8. Pembuatan obat racikan puyer membutuhkan biaya lebih mahal karena menggunakan jam kerja tenaga di bagian farmasi sehingga asumsi bahwa harganya akan lebih murah belum tentu tercapai.
9. Dokter yang menulis resep sering kurang mengetahui adanya obat sulit dibuat puyer (difficult-to compound drugs) misalnya preparat enzim.
10. Peresepan obat racik puyer meningkatkan kecenderungan penggunaan obat irasional karena penggunaan obat polifarmasi tidak mudah diketahui oleh pasien.

Untuk rumah sakit yang ingin mencapai standar internasional, khususnya dalam melindungi keselamatan pasien, maka penulisan resep dan pembuatan obat racikan ini perlu dihapus. Kelak diharapkan semua kebutuhan obat untuk anak dapat dipenuhi berdasarkan obat formulasi pabrik. Peran Organisasi Profesi Kedokteran dan Kebijakan Pemerintah

Ada 3 agenda tindakan untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional. Pertama, pendekatan edukasi: konsep obat esensial dan aplikasinya serta pendidikan preskripsi yang rasional kepada mahasiswa kedokteran. Selain itu rumah sakit pendidikan punya tanggung jawab etis terhadap masyarakat untuk mempromosikan peresepan yang rasional melalui contoh konkret dari para staf pengajarnya. Sayangnya, justru rumah sakit pendidikan di Indonesia adalah tempat mengajarkan peresepan yang tidak rasional.

Agenda kedua adalah skim manajerial: melalui siklus pengadaan obat. Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) yang diimplementasikan secara konsisten dan diikuti dengan baik oleh setiap tingkat pelayanan kesehatan sangat penting artinya. Estimasi pengadaan obat harus didasarkan pada morbiditas (angka kesakitan), bukan atas dasar penggunaan sebelumnya.

Agenda ketiga, intervensi regulasi.


Peran Dokter dan Industri Farmasi

Suatu penelitian skala besar di beberapa negara maju menunjukkan sedikitnya tiga alasan mengapa para dokter cenderung abusive dalam pola peresepannya:

* Kurangnya kepercayaan diri (lack of confidence). Dokter sering kurang percaya diri untuk menyatakan bahwa penyakit pasien disebabkan infeksi virus dan tidak memerlukan antibiotika. Dokter juga khawatir pasien akan pindah ke dokter lain yang justru akan memberikan antibiotika. Saat pasien sembuh ia akan menganggap antibiotikanya lah yang menyembuhkan. Padahal, setiap penyakit memiliki pola perjalanan penyakit. Saat berobat ke dokter kedua, penyakitnya diambang kesembuhan. Jadi, sama sekali tidak ada hubungan dengan antibiotika yang diberikan.
* Desakan pasien (patient pressure). Tidak sedikit pasien yang meminta antibiotika atau menuntut obat cespleng. Di lain pihak, tidak sedikit pasien yang bersikap pasif, tidak bertanya atau mencari informasi perihal pengobatan yang diberikan.
* Desakan perusahaan (company pressure).

Peran Apoteker

Seorang apoteker di Kanada menceritakan tugasnya di sana, yang antara lain meliputi:

1. Pengecekan apakah resep dari dokter tidak salah untuk penyakit tertentu dan apakah dosisnya sudah tepat. Kalau resepnya salah, apoteker harus menghubungi dokter, sehingga kalau ada kesalahan, masih bisa diperbaiki.
2. Pengecekan kemungkinan interaksi obat. Setiap pasien mempunyai arsip di komputer apotek berisi obat-obat yang pernah dipakainya. Jadi kalau obat/resep baru bisa menyebabkan interaksi obat, apoteker harus memberitahukan dokter yang bersangkutan untuk mengganti obat, bila perlu.
3. Mengawasi apakah pasien adalah pengguna obat yang berlebihan atau drug's/narcotic's abuser. Walaupun pasien pindah ke apotek lain, kalau membeli obat jenis narkotika, riwayat pemakaian obat narkotika dapat diketahui sebab pemakaian obat narkotika disimpan di komputer sentral yang bisa di akses setiap apotek.
4. Konseling. Memberikan konsultasi kepada pelanggan adalah tugas yang sangat penting bagi apoteker.
5. Dari segi ekonomi, apoteker dianjurkan mengganti obat bermerek yang dianjurkan dokter dengan obat generik.

Peran Pasien

Era informasi ini telah menggulirkan pergeseran di berbagai aspek kehidupan termasuk aspek kesehatan khususnya di sisi pengetahuan dan kesadaran kesehatan. Khalayak umum dengan mudah memperoleh akses ke pengetahuan kesehatan. Kemudahan ini seperti mengisi kehausan ilmu kaum muda Indonesia yang sudah semakin menyadari haknya dan sudah mulai memposisikan dirinya sebagai konsumen.

Hal ini tercermin dari semakin meningkatnya upaya masyarakat dalam membekali diri dengan pengetahuan kesehatan. Mereka juga mencermati iklim layanan kesehatan baik di luar Indonesia dimana konsumen terbukti berhasil membantu mewujudkan iklim layanan kesehatan yang lebih baik dan rasional. Mereka juga gencar mencari dan berbagi informasi perihal siapa-siapa saja dokter yang rasional. Mereka bisa saja mengunjungi dokter dengan membawa artikel dan pedoman yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti internet, atau sudah memahami tatalaksana pemberian obat yang tepat (evidence-based medicine/EBM) dan pedoman (guidelines) yang ada.

Lalu bagaimana dokter menyikapi fenomena dan kondisi seperti ini? Penerapan pedoman dalam praktek sehari-hari, cepat atau lambat, akan membantu mengangkat citra profesionalisme dokter sebagai tenaga medis.

Peran Media Massa

Media massa memainkan peranan sangat besar sebagai sarana sosialisasi pengetahuan dan kebijakan baru bagi masyarakat. Sayangnya, banyak media massa yang tanpa disadari telah dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menyesatkan masyarakat dengan informasi yang tidak seimbang dan tidak tepat.

Peran Institusi Pendidikan Kedokteran dan Farmasi

Dokter, perawat, dan farmasis merupakan sumber bagi orang awam ketika membutuhkan informasi tentang obat. Sebagai konsekuensi, profesi ini dituntut untuk selalu memperbaharui ilmu yang mereka miliki dengan menghadiri berbagai konferensi, pelatihan, dan seminar tentang kedokteran termasuk penggunaan obat yang rasional. Kurangnya pengetahuan mengenai penggunaan obat yang rasional dapat mencerminkan kualitas pelayanan. Diperlukan program tentang penggunaan obat yang rasional yang meliputi pelatihan dalam praktek peresepan
dan dispensing yang tepat dan sistem yang mengatur pengawasan (monitoring) secara berkala terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mempromosikan penggunaan obat yang rasional.

Institusi kedokteran dan farmasi juga berperan dalam menyelenggarakan berbagai pendidikan berkelanjutan untuk tetap mempertahankan kompetensi yang dimiliki para dokter dan farmasis.

Suryawati dan Santoso tahun 1997 melakukan pelatihan untuk mahasiswa kedokteran yang akan menjalani magang klinik untuk mengenali klaim yang berlebihan atau indikasi yang diperluas tanpa didukung dasar ilmiah, infomasi yang salah tentang efek samping, rekomendasi yang tidak tepat untuk dosis dan penggunaan obat, informasi yang salah tentang profil farmakodinamik dan farmakokinetik, dan kurangnya informasi tentang peringatan dan pencegahan. Pelatihan ini terbukti efektif bahkan hingga 12 bulan setelahnya, pelatihan ini terbukti merupakan metode yang berguna untuk membekali mahasiswa dengan pengetahuan dan ketrampilan agar dapat menilai informasi tentang obat dan iklan secara kritis.

Penutup

Jelas sekali terlihat bahwa masalah penggunaan obat yang rasional bukan hanya tanggung jawab satu atau dua pihak saja (lihat diagram di bawah ini). Diperlukan kerja sama yang saling mendukung antar berbagai pihak.

Akhirnya, mari bergandengan tangan memperbaiki pola layanan kesehatan di Indonesia dengan menjunjung tinggi dua warisan filosofis. Pertama, warisan dari jaman Roma ketika Hippocrates mengingatkan para dokter untuk senantiasa mendahulukan kepentingan pasien. Kedua, warisan dari jaman Yunani ketika Galen meminta dokter untuk senantiasa menjunjung tinggi "Primum non no cere" atau Above all do not harm (harm di sini maknanya sangat filosofis).

Semoga profesi dokter bukan hanya mampu bertahan melainkan semakin berjaya dan profesional atas dasar etika tinggi, kompetensi dan transparansi. Semoga semua pihak dapat bergandengan tangan memberikan yang terbaik bagi masyarakat Indonesia umumnya, dan buat anak-anak Indonesia khususnya. Semua anak, termasuk anak Indonesia, berhak memperoleh layanan kesehatan yang terbaik.

-Selesai-